Radikalisasi Sains dalam Praktik Dokter


Polemik antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan mantan Menteri Kesehatan yang sekaligus seorang jenderal dan guru besar yang bekerja di RSPAD menyisakan banyak PR atau catatan. Setidaknya model Digital Subtraction Angiography (DSA) yang awalnya sebagai sebuah metode diagnosis untuk menentukan lokasi sumbatan penyebab stroke di otak lalu dimodifikasi menjadi sebuah metode terapi setelah diberikan heparin dengan cara disuntikan dengan tekanan tertentu (flushing) dipopulerkan dengan istilah Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF). Heparin sebagai antikoagulan yang didorong dengan tekanan tertentu diklaim oleh peneliti yang saat itu sebagai mahasiswa S3 FK Universitas Hasanudin Makassar bisa menjadi terobosan intervensi kasus stroke iskemik kronis sebagai
inovasi baru dan temuan baru.
Setiap penelitian S3 pasti mensyaratkan novelty atau kebaruan dalam penelitiannya. Dengan metode eksperimen one group pre-test post-test design peneliti hanya melihat efek IAHF dengan membandingkan kondisi pre-test atau sebelum intervensi IAHF dan post-test atau sesudah intervensi IAHF dan ternyata terbukti aliran darah otak bisa diperbaiki dengan menaikan volume darah otak semenit dari 25,22 ml menjadi 35 ml per 100 gram volume otak (kenaikan 10,39 ml/100 g/menit atau perbaikan 41,20 %) serta meningkatkan kekuatan otot yang dinilai dengan Muscle Manual Test (MMT) dengan skor 6 dari skor MMT 30,21 (CI 95% SD 10,47) sebelum terapi IAHF menjadi 36,27 (CI 95% SD 11,59) paska terapi IAHF.Sayang sekali penelitiannya tidak sampai mengukur aliran darah di tiga daerah yang sangat kritis terdampak stroke iskemik (sumbatan) yaitu aliran darah di inti atau pusat kerusakan (tidak mungkin bisa pulih), daerah penumbra (rusak yang masih bisa pulih) dan benign oligemia atau daerah perbatasan yang masih normal di sekitar sumbatan. Dalam setiap peneltian itu pasti memang ada kelemahannya dan itulah peluang baru untuk studi berikutnya. IDI meminta lebih atas fakta ilmiah tersebut supaya bias efek plasebo bisa terhindarkan.
Keabsahan Akademik Dalam tradisi ilmu klinis setiap prosedur baru dalam tindakan klinis meliputi diagnosis dan terapi serta pencegahan penyakit harus memenuhi kaidah ilmu kedokteran yang berbasis bukti atau EBM dengan uji klinis dari tahap 1,2,3 dan 4. Teknik DSA sebagai metode diagnosis kasus sumbatan pembuluh darah sudah melewati uji klinis dan sudah dipakai di seluruh dunia di berbagai rumah sakit terkenal seperti di Singapura, Eropa dan Amaerika. Hanya saja DSA yang dikembangkan menjadi model terapi baru stroke kronis dengan nama IAHF ala Terawan di klaim belum pernah ada di negara manapun di dunia ini. Jika searching di google scholar atau pubmed NCBI menggunakan keyword IAHF untuk stroke kronis (IAHF and chronic stroke) maka hanya ada publikasi dari dr Terawan dengan 3 publikasi original paper murni penelitian dalam bahasa Inggris di tahun 2016 dn 2021 dan 2 paper dari komunitas ahli syaraf berupa review article dalam bahasa Inggris terbit di tahun 2016 berupa review article dari pakar neurologi untuk menyanggah papernya dr Terawan. Metode terapi tersebut sudah dipakai dalam disertasi S3 dan disetujui oleh penguji dan lolos kaji etik. Biasanya kajian dimulai dari penelitian uji preklinis yang dilakukan pada binatang atau model sel kultur di laboratorium sebagai studi pendahuluan sebelum dilakukan pada manusia. Teknik IAHF ini langsung diujicobakan pada manusia karena pengembangan dari DSA yang sebelumnya sudah digunakan di klinik sejak tahun 1953 dan disempurnakan pada tahun 1970 sebagai metode diagnosis.
Teknik IAHF ini telah lolos kaji etik oleh komite etik FK Unhas Makassar (nomer UH14110582) sebagai syarat wajib penelitian kepada subjek manusia untuk kepentingan terapi penderita stroke kronis yang menjadi bagian tak terpisahkan dari syarat S3.
Tuntutan Tiga Domain EBM Penelitian S3 oleh mantan Menkes yang dilakukan untuk memenuhi syarat gelar S3 sebagai dasar ilmiah tindakan IAHF yang dilakukannya dinilai oleh IDI tidak memenuhi kaidah uji klinis yang sejati (Clinical trial). Trias Evidence Based Medicine (EBM) yang terdiri dari patient’s value dan patient’s preference, clinical expertise dan the best evidence dengan dukungan penelitian uji klinis Randomized Control Trial (RCT) dinilai ada yang kurang. Meskipun diakui bahwa mantan menkes sudah memiliki clinical expertise dan memenuhi patient’s preference, praktek tersebut belum bisa diterima sesuai EBM karena kurang satu faktor “the best evidence”. Sebenarnya jika the best evidence (gold standard) belum tersedia masih bisa dimaklumi untuk mencari bukti yang ada meskipun silver standard (standar perak) atau bronze standard (standar perunggu) sesuai ilmu diagnosis. Dalam terapi juga begitu jika bukti penelitian tidak memenuhi RCT secara ketat maka bisa menggunakan standar level 3 apabila level 1 dan level 2 tidak tersedia. Artinya masih ada kompromi secara metodologis untuk memilih the best standard jika belum ada bukti pada level 1 atau grade A. Oleh karena itu jangan terlalu radikal dalam menerapkan EBM sehingga terkesan membabi buta harus menuntut standar grade 1 atau grade A semua. Ada semacam radikalisasi dalam sains
untuk mendapatkan bukti terbaik.
Kaidah ilmiah untuk penelitian S3 sudah lolos dengan hasil sangat memuaskan namun untuk dipakai dalam praktek selanjutnya harus melewati uji klinis versi klinisi berbasis Good Clinical Practise (GCP). Setiap peneliti yang mau melakukan uji klinis harus memiliki sertifikasi GCP. Meskipun dalam publikasinya di jurnal internasional Q4 terindex scopus mantan Menkes menuliskan bahwa penelitian tersebut menggunakan uji klinis yang melibatkan pasien di RSPAD tapi faktanya design nya tidak memenuhi uji klinis 100 persen seperti harus ada randomisasi, harus ada kelompok kontrol dan kelompok pembanding dengan terapi standar dan analisis besaran efek primer dan sekunder antar kelompok dan subgroup serta melaporkan ada tidaknya kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Apalagi menurut bukti ilmiah tindakan DSA sendiri bisa menimbulkan risiko serangan stroke sebesar 0,14 – 1 persen dan kejadian stoke transient sebesar 0,4-3 persen tergantung pengalaman klinis dokter dan kondisi pasien.
Pandangan Bioetik Islam Sebagai penutup sikap pusat studi BIOHUKI FK UII mencoba menganalisisnya dari sudut pandang islam berangkat dari QS surat al Isra ayat 36: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban” dan ayat 37: “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan apat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung: Dalam kasus ini polemik antara IDI dengan dr. TAP bisa selesaikan dengan ilmu dan mediasi melalui bukti bukti terbaru oleh para ahli ilmu dengan mengedepankan sikap jujur dan rendah hati alias tidak sombong. Bukti terbaru jelas bahwa konten konten di media sosial seperti you tube yang memuji diri berlebihan metode brain wash sudah didelete dan permintaan IDI untuk menerbitkan paper terkait dengan prosedur IAHF juga sudah dipenuhi dengan terbitnya paper ketiga yang berjudul Case Series Chronic Pediatric Ischemic Stroke in Childs Succesfully Treated with IAHF Procedure di jurnal internasional terindex google scholar yang terbit Amerika Serikat. Artinya permintaan IDI sudah dipenuhi sebagian secara sungguh sungguh meskipun belum maksimal karena belum bisa membuat penelitian esperimental dengan design Randomised Control Trial (RCT). RCT yang sempurna butuh waktu lama dan dana yang besar tidak seperti review article yang dengan modal beberapa juta bisa dan dalam bebeapa bulan selesai sampai publikasi tidak sampai satu tahun. Clinical trial dengan RCT yang sangat dituntut oleh IDI dan saksi ahli adalah kondisi ideal dengan level yang sangat tinggi yang kadang para senior pun jarang yang bisa melakukannya. Teori etik yang sesuai dengan filosofis sing penting nindakke kewajiban (deontologi), sing penting manfaat (teleologi), sing penting atine resik lan duwe sifat becik (the virtue ethics) seperti nabi yang punya sifat sidiq, amanah tabligh dan fathonah, sing penting jaga hubungan baik (feminism ethics) dan sing penting narasinya inspiratif (narrative ethics) bisa dijadikan pendekatan untuk memecah kebuntuan hubungan antara sesama anggota IDI atau pengurus IDI dengan anggotanya. Uswatun hasanah atau keteladanan sesuai teori virtue ethics lebih powerful dari pada narrative ethics yang hanya sekedar mau’idhoh hasanah atau nasehat kebaikan untuk bisa saling ishlah. Saatnya para tokok IDI dan anggotanya untuk mengamalkan etika profetik (etika keteladanan nabi) atau virtue ethics. Jadilah orang baik, hidup dengan baik dan selalulah berbuat baik dengan menjaga hubungan baik. Semoga bisa dan waallahu a’lam. [UII News]